test

Kamis, 30 Juli 2015

apa itu Certain Verbs?

Bismillahirrahmanirrahim
                                                                    Certain Verbs

Untuk postingan saya kali ini, saya ingin berbagi mengenai sedikit dari ilmu Bahasa Inggris yang saya kuasai. Pada akhirnya saya berharap segala hal yang akan saya paparkan bisa bermanfaat bagi setiap pembacanya..... Aamiin.

Berbicara mengenai sastra atau tata bahasa adalah hal yang tidak sederhana. Memahami dan mendapatkan sense of language akan suatu bahasa tidaklah semuda memahami teorinya. Dengan kata lain, perihal mengartikan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris atau bahasa lainnya bukanlah sekedar perkara memperhatikan arti yang sama, akan tetapi perlu diperhatikan terlebih dahulu konteks yang sedang terjadi. Misalnya, arti dari “look” dan “see” adalah sama yaitu “melihat” dan berdasarkan pembagian jenis kata, dua kata tersebut sama-sama masuk kedalam jenis “verb” (kata kerja), akan tetapi apakah penggunaan dua kata tersebut sama? Atau kapankah kita menggunakan “look” dan kapankah kita menggunakan “see”? Nah, disinilah hal mendasar yang membedakan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris, yaitu kaidah tata bahasa (atau dalam bahasa Inggris biasa disebut sebagai Grammar)

Nahh.... postingan saya kali ini akan sedikit membantu para pembaca untuk memahami grammar dari bahasa Inggris. Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah banyaknya kesalahan dalam perspesi bahwa yang dinamakan grammar hanyalah yang termasuk ke dalam kategori tenses (simple past tense, future continous tense, simple present tense, etc). Disinilah grammar mulai menjadi satu bagian dari bahasa Inggris yang sedikit merepotkan bahkan diantara kita dengan tegasnya mengatakan “ogah ah untuk belajar grammar” bahwa cakupan dari grammar sangatlah luas, mulai dari tenses, part of speech, certain verbs, dan masih banyak lagi. Basically, grammar atau tata bahasa akan mudah dipahami apabila kita biasa untuk menggunakannya (nasihat mainstream). Untuk postingan kali ini saya akan lebih fokus untuk membahas mengenai Certain Verbs.

Bagi yang belum mengerti apa itu Certain Verbs tenang saja, karena pada momen kali ini penulis tidak lupa juga akan menjelaskan apa Certain Verbs? Certain Verbs atau “kata kerja pasti” adalah The Words that require an –ing form (gerund) or infinitive after the words selected atau kata-kata tertentu (yang termasuk ketaegori verbs) yang meminta verbs setalahnya ditambahkan –ing (menjadi gerund) atau meminta bentuk infinitive (misal: to eat, to study, etc). Berdasarkan pemahaman diatas, maka diketahui bahwa Certian Verbs memiliki dua bentuk, yaitu yang akan meminta perubahan jadi gerund (misal: Studying) dan yang meminta perubahan jadi infinitive (misal: to study). Lalu pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana kita mampu untuk mengetahui kata-kata pilihan (the words selected) yang termasuk kedalam words yang meminta bentuk gerund atau infinitive? Nahh,, disinilah penulis akan memberi jawaban pertanyaan tersebut, bahwa “kita harus mengetahui atau menghafal mana kata yang meminta bentuk gerund atau infinitive”,, tentu dipostingan kali ini juga penulis akan menuliskan mana kata-kata yang tergolong ke dalam Certain Verbs Gerund dan Certain Verbs Infinitive.

Certain Verbs Gerund
Admit              = Mengakui / Menerima
è I admit to act in this movie not easy (Incorrect)
è I admit acting in this movie not easy (Correct)
Kata kerja setelah admit sebagaimana contoh diatas haruslah berubah menjadi gerund
Appreciate       = Menghargai
Avoid              = menghindari
Finish              = menyelesaikan
Keep                = menjaga
è Yesterday I kept this feeling with you, now it’s all over
Mention           = menyebutkan
Complete         = menyelesaikan
Consider          = mempertimbangkan
è I am considering not going
Delay               = menunda
Practice           = melatih
Quit                 = keluar
Recall              = memanggil kembali
Deny               = menolak
Discuss            = mendiskusikan
Enjoy               = menikmati
Risk                 = beresiko / mengambil resiko
Stop                 = berhenti
Suggest           = menyarankan
è He suggests to you stoping smoking right now!
Postpone         = menangguhkan / memundurkan
Regret             = menyesali
Understand     = memahami
Tolerate           = mentolelir
Recommend    = merekomendasi
Miss                 = menghilang

Pada dasarnya satu kalimat dalam bahasa Inggris hanya boleh terdiri dari satu subject dan satu verb. Sedangkan gerund dalam part of speech termasuk ke dalam golongan Noun (kata benda). Sehingga apabila terdapat kata-kata diatas dalam satu kalimat (verb) dan bertemu verb lagi, maka untuk menghindari munculnya verb ganda dalam satu kalimat verb yang datang setelah Certain Verbs haruslah berubah bentuk menjadi Noun atau dalam kasus ini menjadi gerund (kata kerja yang di –ing kan).

            Certain Verbs Infinitive
Agree              = setuju
è I really agree to walk with you sometime
Appear                        = melihat
Arrange           = menata
Ask                  = meminta
Claim               = mengklaim / mengakui
Consent           = menyetujui / mengizinkan
Decide             = memutuskan
Demand          = menginginkan
Deserve           = berhak (mendapatkan)
Expect             = berharap
è He is expecting to kiss me
Fail                  = gagal
Forget              = melupakan
Hestitate          = meragukan
Hope               = berharap
Intend             = bermaksud
Learn               = belajar
Manage           = mengatur / menata
Mean               = bermaksud
Need               = membutuhkan
Offer               = menawarkan
Plan                 = merencanakan
Prepare            = mempersiapkan
è Prepare everything before you to act in any case
Pretend            = berperilaku / berpura-pura
Promise           = berjanji
Refuse             = menolak
Seem               = tampak / terlihat
Tend                = merawat / cenderung
Threaten          = mengancam
Wait                = menunggu
Want               = menginginkan

            Sama seperti penjelasan diatas, verb yang berubah menjadi infinitive adalah bentuk penghindaran terjadinya pengulangan verb dalam satu kalimat tanpa adanya kata penghubung.        

            Demikian penjelasan saya mengenai Certain Verbs Gerund dan Infinitive, semoga bermanfaat... tolong komentarnya jika menemukan kesalahan.. The best way to learn is to teach


Minggu, 05 April 2015

Pemikiran Politik Islam
Radikalisme Islam dan Implikasinya Terhadap
Islam di Dunia Internasional Modern
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata kuliah Pemikiran Politik Islam

Oleh:
Vanny El Rahman         (1113113000011)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1435 H





PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sejak peristiwa kelabu World Trade Center dan Pentagon, Amerika Serikat 11 September 2001 lalu, teroris dan terorisme menjadi kosakata baru dalam dunia kekerasan, dan kini sudah tidak asing lagi bagi masyarkat dunia. Bahkan, dunia mengutuk tindakan tersebut dikarenakan banyaknya korban yang berjatuhan. Masyarakat global, baik dari berbagai Agama dan suku, menyatakan sepakat untuk menolak tindakan kekerasan seperti terorisme[1].
Dugaan terhadap Islam sebagai dalang dari peristiwa 11/9, menjadikan Islam “diangap” sebagai ideologi yang mengajarkan segala tindakan radikalisme. Ungkapan tersebut diperkuat pula dengan fakta yang terjadi bahwa kelompok militan Islam semakin menjadi sorotan di mata dunia. Sejarah juga mencatat bahwa di masa Khilafah Ar-Rasyidin, Islam pernah melahirkan suatu kelompok yang memiliki paham radikal. Sehingga kata terorisme seolah menjadi pelengkap akan ungkapan radikalisme Islam.
Semakin tegangnya hubungan antara Amerika-Islam merupakan dampak dari kebijakan Bush yang selalu mengidentikkan Islam sebagai Terorisme. Sedangkan di sisi lain, Amerika dengan alasannya “untuk memerangi terorisme internasional” melakukan invasi ke berbagai negara bermayoritaskan Muslim yang lemah seperti Afganistan dan Irak. Akan tetapi disisi lain Amerika sendiri selalu memberikan dukungannya kepada rezim Zionis Israel di bawah PM Ariel Sharon yang terus menindas bangsa palestina[2]. Kebijakan yang telah dijalankan juga membuat hubungan umat Muslim dan non-Muslim di dunia geram, termasuk Muslim dan non-Muslim di Amerika sendiri.
Islam adalah agama yang menganjurkan hambanya untuk terus menuntut ilmu dan melarang untuk patuh terhadap suatu hal tanpa mengerti dasarnya (taqlid). Maka, Islam kini dianggap sebagai agama yang unik, sehingga multitafsir dalam memandang suatu hukum Islam menjadi hal yang niscaya, dan hal tersebut juga terjadi pada penafsiran radikalisme dalam Islam. Implikasi daripada hal tersebut adalah munculnya pembenaran akan tindak kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok radikal Islam dalam menyebarkan agama Islam.
Manfaat penulisan
1.      Pembaca diharapkan mampu untuk memahami apa itu hakikat dari Radikalisme Islam.
2.      Pembaca diharapkan dapat memahami akar ataupun cikal bakal daripada radikalisme Islam.
3.      Melalui makalah ini penulis berharap pembaca mampu mengerti faktor-faktor yang menyebabkan radikalisme muncul dan faktor penyuburnya
4.      Penulis juga berharap pembaca mampu untuk mengerti dampak daripada radikalisme Islam tersebut bagi masyarakat Islam global.
5.      Terakhir, penulis berharap pembaca mampu mengambil sikap dan dapat mengambil posisi sebaik-baiknya dalam menanggapi radikalisme Islam.
Rumusan Masalah
1.      Apa itu hakikat daripada “Radikalisme” Islam?
2.      Apa saja faktor-faktor penyebab munculnya Radikalisme Islam ?
3.      Bagaimanakah upaya daripada deradikalisasi Islam?














RADIKALISME ISLAM DARI BERBAGAI ASPEK
Radikalisme pada umumnya memiliki makna ganda jika bertolak dari kamus besar bahasa indonesia (KBBI), yaitu pemahaman yang mendalam hingga ke akarnya akan suatu prinsip, dan paham atau aliran yang menginginkan perubahan serta pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Istilah “Radikalisme” Islam sering disamaartikan dengan fundamentalis, revivalisme, ataupun neo-fundamentalis Islam, walaupun secara harfiah makna dari setiap kata tersebut berbeda namun semuanya merujuk kepada “kebangkitan” gerakan islam[3].
Jika menjabarkan lagi berdasarkan dua pengertian diatas, maka radikalisme secara hakikatnya  memiliki dua bentuk implementasi. Untuk pengertian yang pertama, radikalisme bisa dipahami berdasarkan pemahaman yang mendalam akan agama Islam. Sedangkan untuk pengertian yang kedua radikalisme dianggap sebagai suatu bentuk lain daripada tindakan terorisme.
Yusuf Qaradhawi memiliki pemahaman yang cukup menarik untuk diperbincangkan terkait apa itu radikalisme. Dunia Islam mengenalnya sebagai muslim taat yang tidak pernah bermain-main dalam menetapkan suatu hukum dan pandangan. Ia mendefinisikan radikalisme sebagai “being situated at the farthest possible point from the center”[4]. Diperkuat pula dengan pendapatnya bahwa tindakan radikal adalah “exposure to danger and insecurity”[5]. Menurutnya, radikalisme merupakan suatu kondisi yang “paling jauh dari pusat” atau radikalisme bukanlah merupakan sirath almustaqim yang ditunjukkan oleh Allah kepada umatnya.
Munculnya tindakan radikalisme Islam tidak lain merupakan bentuk protes ataupun penyampaian aspirasi umat Islam terhadap dunia Barat. Dikatakan demikian karena gerakan radikalisme Islam kontemporer diduga muncul pertama kali pada abad ke-20 (pasca meletusnya Revolusi Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini pada 1979) di dunia muslim, terutama timur tengah, sebagai produk dari krisis identitas yang berujung pada reaksi dan resistensi terhadap barat yang melebarkan kolonialisasi di dunia muslim.
Di era modern kini, ungkapan radikalisme Islam sering dikonotasikan kepada gerakan negatif Islam. Dalih-dalih untuk menegakkan syariat Islam di muka bumi inilah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, termasuk hal yang sudah jelas dilarang oleh agama sekalipun. Misalnya  gerakan Islamic State of Iraq and Syirah (ISIS), cara yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan mereka adalah melakukan pembajakan terhadap kilang minyak, pembantaian warga sipil, dan penyiksaan massal. Berdasarkan data yang dikeluarkan PBB hingga bulan Agustus 2014 terdapat sebanyak 5507 korban[6] dan hingga bulan september 2014 lebih dari 1,2 juta penduduk Irak harus mengungsi dari rumahnya[7]. Untuk konteks ini kata radikalisme bisa dikatakan sebagai sikap ekstrem dalam suatu aliran politik
Radikalisme Islam Klasik
            Radikalisme Islam sendiri bukanlah hal yang baru bagi kaum muslimin dan para akademisi muslim. Akar kemunculan radikalisme Islam tidaklah bisa terlepas dari peristiwa terpecahnya golongan Ali bin Abi Thalib kedalam dua golongan, yaitu mereka yang masih setia terhadap Ali disebut Syiah dan mereka yang membangkak dari keputusan Ali disebut Khawarij. Terpecahnya golongan Ali (Kawarij) merupakan bentuk kekecewaan para pendukungnya atas keputusan tahkim (arbitrase) yang dilakukan oleh Khalifah Ali dalam menyelesaikan sengketa Perang Siffin melawan Muawiyah bin Abi Sofyan. Kaum Khawarij inilah yang dianggap sebagai perintis lahirnya kelompok radikalisme Islam klasik.
            Kaum Khawarij (sebagai aliran teologis) mulanya keluar dari barisan Ali karena menganggap bahwa perbuatan yang dilakukan oleh khalifah dengan menggantungkan hukum tidak kepada Allah SWT dianggap telah menyalahi syariat Islam, sehingga mereka menganggap bahwa Ali beserta Muawiyah telah keluar dari agama Islam (kafir). Namun dalam menanggapi masalah ketatanegaraan (sebagai aliran politis), rupanya Khawarij memiliki pandangan sendiri yang lebih demokratis bahwa seorang pemimpin tidaklah harus dari Kaum Quraisy, mereka beranggapan bahwa imam (pemimpin) harusnya dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam[8]. Atas sikap dan perilakunya, Khawarij ini tidak lagi dianggap sebagai golongan teologis semata, mereka kerap kali disebut sebagai golongan teologis-polits.   
Terkait pembahasan teologis dalam kalangan Khawarij, mereka mulai memasuki persoalan “siapakah yang disebut kafir atau keluar dari Islam?”. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang telah keluar dari Islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan hal ini tidak selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan Khawarij sendiri[9]. Diantara sekte-sekte Khawarij itu adalah: Khawarij Al-Surifah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-Muhakkamah, dan masih banyak lagi. Menurut Al-Syahrastani mereka terpecah menjadi 18 sekte dan menurut Al-Baghdadi mereka terpecah menjadi 20 sekte serta menurut Al-Asy’ari mereka terpecah menjadi subsekte-subsekte yang lebih banyak lagi[10].
            Diantara berbabagi macam golongan tersebut, golongan Al-Azariqahlah yang dipandang sebagai golongan paling radikal. Mereka tidak lagi menggunakan istilah kafir bagi yang tidak sepaham dengan mereka, melainkan mereka menggunakan istilah musyrik (menyekutukan tuhan) atau Polytheist[11] , yang mana musyrik dalam islam merupakan dosa yang paling besar. Mereka menggunkana konsep dar al-Islam (wilayah Islam) yang dianggap sebagai tempat tinggal mereka dan dar al-kufr (wilayah kafir) yang dianggap sebagai tempat selain mereka tinggal[12]. Sehingga mereka menganggap bahwa setiap muslim yang tidak mau berhijrah ke dalam wilayahnya maka mereka dianggap musyrik[13] dan halal untuk ditawan, dijadikan budak, hingga dibunuh, dan hal tersebut berlaku pula bagi istri dan anaknya[14]. Menurut paham golongan ini yang disebut sebagai orang Islam hanyalah mereka yang tinggal di dar al-Islam, selain itu mereka harus diperangi[15]. Mereka juga selalu melakukan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat dan keyakinan seseorang, siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku orang Islam tapi tak termasuk dalam golongan Al-Azariqah, maka mereka harus dibunuh[16]. Atas berbagai tindakan keras yang dilakukan oleh Khawarij inilah, maka mereka dianggap sebagai kelompok perintis lahirnya gerakan radikalisme Islam di era Islam klasik.


Radikalisme Islam Kontemporer
Cikal bakal daripada radikalisme islam di era kontemporer adalah hancurnya sistem pemerintahan ala Islam,  khilafah, menjadikan dunia Islam terpecah-belah di berbagai belahan benua, sehingga pengikisan moral, mulai redupnya ikatan ukhuwah islamiyah, dan rendahnya nilai keimanan adalah hal yang tidak lagi bisa dihindarkan terutama untuk membendung proyek modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintah baru yang berhaluan Barat mulai dilakukan[17]. Dan penyebaran akan demokrasi itulah yang sering dianggap sebagai proyek Barat yang mereka sebarluaskankan ke berbagai wilayah, termasuk wilayah Islam. Karena masih adanya sebagian Muslim yang berpikir bahwa demokrasi adalah produk Barat sedangkan Islam adalah produk Timur, maka tidak akan ada titik pertemuan antara dua hal tersebut.
            Sebagaimana hal yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Revolusi Iran 1979 menjadi tolak ukur dari kebangkitan radikalisme Islam di era kontemporer. Keberhasilan Revolusi Iran adalah sebuah deskripsi dramatis bagi semangat kebangkitan Islam militan di bekas Kerajaan Persia tempo dulu, tidak saja membuat miris rezim semi-feodal di dunia Arab, namun juga menimbulkan kekhawatiran berat di dunia Barat. Iran saat itu menjadi good boy-nya Amerika, dimana segala kebijakannya selalu menguntungkan Israel dan pro Barat, juga dianggap sebagai “posko-Luar” bagi imperialisme Amerika di Timur Tengah[18]. Lengsernya Shah Iran dari kursi kepemimpinan membuat geger dunia Barat, terutama Amerika. Pasalnya selain dikhawatirkan pemerintahan yang baru tidak akan pro terhadap Barat, berhasilnya revolusi yang dipelopori oleh Ayatollah Ruhullah ini di duga menjadi semangat awal untuk munculnya tindakan radikalisme Islam di berbagai daerah.
            Keberhasilan Ayatollah dan militan Muslim saat menlengserkan Shah Iran menimbulkan intrepretasi bahwa semangat keislaman dengan suatu tindakan nyata akan mampu untuk melengserkan suatu rezim yang dianggap dzolim. Menarik untuk diketahui bahwa terjadinya perebutan kekuasaan serta dilengserkannya rezim tersebut dilakukan tanpa sedikitpun ada pertumpahan darah rakyat.
Menurut Ali Mamouri, kolumnis dan peneliti agama yang banyak mengajar di berbagai kampus di Iran dan Irak, fundamentalisme atau radikalisme Islam dalam bentuknya yang sekarang sebagai gerakan sosial, terlepas dari latar belakang religius historisnya, adalah fenomena baru. Usianya kira-kira baru 100 tahun. Gerakan ini merupakan reaksi dari kondisi kerapuhan dan kelemahan negara-negara Islam, dibandingkan dengan kejayaan masa lalunya. Karena itu, kaum radikalisme muncul bukan dari lingkaran konservatif, namun justru lebih banyak dari gerakan-gerakan reformis yang bertujuan ke arah “kebangkitan Islam”[19]. Unik memang jika kita melihat bahwa terjadinya Revolusi Iran tanpa adanya sedikitpun pertumpahan darah, sangat berbeda jika kita melihat berbagai tindakan Radikalisme Islam yang lebih kekinian ketimbang revolusi tersebut.
Menjamurnya gerakan Islam baru yang bersifat radikal seperti Al-Qaidah, Hizbut Tahrir, ISIS, dan Taliban menjadi dampak dari berhasilnya Revolusi Iran. Namun di masa kini, Radikalisme Islam sudah di cap sebagai suatu tindakan terorisme. Padahal tidak semua gerakan radikalisme Islam selalu melakukan kekerasan, misalnya yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam memperjuangkan keinginannya untuk mendirikan sistem khilafiyah di bumi nusantara, cara mereka yaitu berafiliasi melalui gerakan politik dan demokrasi.
Islam mendapat sorotan tajam oleh dunia semejak terjadinya peristiwa pembajakan pesawat yang diduga didalangi oleh kelompok militan Islam Al-Qaidah. Peristiwa tersebut juga memakan korban yang tidak sedikit, sehingga peristiwa itu dikenal dengan Black Tuesday 11/9[20] dan itulah contoh daripada Radikalisme Islam yang dilakukan dengan kekerasan. Semejak peristiwa itu pula segala gerakan radikalisme Islam mendapatkan label terorisme dan anti-Barat. Pasca peristiwa tersebut, Amerika langsung mendeklarasikan negaranya untuk memerangi terorisme. Selain melalui jalan bersenjata, Amerika juga menyiapkan dana sebesar 1 milliar dolar AS pada tahun 2004 yang digunakan untuk kegiatan pertukaran pendidikan dan kebudayaan anatara Amerika dengan negara-negara Islam yang berpengaruh[21]. Hal tersebut merupakan wujud keseriusan sekaligus ketakutan Amerika dalam menanggapi Radikalisme Islam.
Segala tindakan terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaidah, ISIS dan kelompok Islam radikal lainnya merupakan manifestasi anti-Barat. Adanya ungkapan tersebut tidak lepas dari adanya aliran dalam Islam yang menganggap bahwa demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut diperkuat pula dengan ungkapan Ali Benhadi, bahwa demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem yang cacat (a flawled system), semua upaya untuk mensistesiskan Islam dan demokrasi selalu terbentuk pada batu karang bernama “kumpulan doktrin yang abadi dan tidak bisa diubah” yang merupakan intisari setiap agama[22]. Penyebaran sistem demokrasi yang dilakukan oleh Barat sering dianggap sebagai kolonialisme cara baru di era modern. Oleh dasar itulah Radikalisme Islam diaggap sebagai ancaman bagi demokrasi terutama bagi pihak Barat.
Hubungan antara radikalisme islam klasik dan kontemporer
Jika dicermati lebih mendalam, ternyata faktor-faktor yang menyebabkan muncul dan berkembang suburnya Radikalisme Islam di era kontemporer lebih kompleks ketimbang di era klasik. Jika pada awalnya Khawarij muncul berakar pada permasalahan teologi, kini kemunculan berbagai gerakan Radikal Islam lebih variatif. Misalnya menyangkut permasalahan politik yaitu tidak sukanya sebagian Muslim (termasuk anggota dari kelompok militan Islam) terhadap sistem demokrasi dan cara penyebarannya, permasalahan ekonomi yaitu kebijakan ekonomi global yang kerap kali cenderung menguntungkan Barat beserta sekutunya, dan permasalahan sosial dan komunikasi yaitu tidak dibebaskannya Muslim di beberapa negara Barat dalam menjalankan syariatnya.      


            Walaupun terdapat perbedaan latar belakang, motivasi, kegiatan dan aktivitas, serta bentuk keorganisasian akan kelompok Radikal Islam tersebut, masih terdapat kesamaan doktrin antara kelompok-kelompok Radikal Islam diatas, antara lain:
1.      Membentuk sebuah kekuasaan Islam baik itu berupa negara Islam atau kekhilafahan Islam. Karena mereka menganggap bahwa Islam adalah agama yang lengkap dengan segala aturan berpolitiknya dan syariat Islamlah yang bisa membawa kepada keadilan.
2.      Memutus hubungan dengan masyarakat kontemporer. Dalam pikiran mereka, masyarakat saat ini dianggap “tidak suci” karena telah bertumpu kepada hukum yang tidak bersandar kepada hukum Allah SWT (konsep takfir). Takfir (pengkafiran) itupun berlaku bagi Muslim yang tidak setuju terhadap agenda Islamis mereka.
3.      Menciptakan teokrasi. Dalam pandangan mereka, sistem kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya, dll) yang tidak berasal dari Islam adalah kafir. Mereka menentang demokrasi dan otoriter dengan menyebut bahwa sistem tersebut bukanlah berasal dari Islam. Golongan Islamis selalu menggunakan slogannya “syariah adalah solusi dan Alquran adalah konstitusi”[23].
Tujuan fundamentalisme Islam pada faktanya memang kembali kepada “teks suci,” dan dengan cermat mengeksekusi apa yang dinyatakan dalam teks tersebut, tanpa interpretasi apapun. Ia juga menolak interpretasi historis yang resmi dan lebih bersifat konservatif terhadap “teks suci.” Bagi kaum fundamentalis seperti ISIS, kembali ke pembacaan orisinal dan primer terhadap “teks suci” dan menghindari setiap interpretasi yang muncul kemudian, adalah solusi bagi seluruh problem yang dihadapi umat Islam sekarang[24]. Dikatakan hal tersebut karena dalil yang mereka gunakan untuk mengatasnamakan tindakan mereka adalah “laa hukmu illaallah” dan “wa man laa yahkum bimaa anzalallhu faulaaika humul kaafiruun”, sehingga mereka menyebut tindakan kekerasan mereka dengan jihad[25].
Sebagaimana hal yang telah dijelaskan diatas, rupanya radikalisme memiliki dampak yang sangat berpengaruh baik dalam tingkatan nasional maupun internasional. Di bumi Nusantara, pernah muncul sebuah ungkapan yang cukup menggegerkan yang diungkapkan oleh Prof Bambang Pranowo, yang menunjukkan data statistik betapa besarnya anggota ekstrakulikuler sekolah keIslaman yang menjadi anggota teroris, ia juga menyebutkan pola-pola perekrutannya[26]. Hal ini berdampak terhadap munculnya kekhawatiran orang tua terhadap anak-anaknya yang berpartisipasi dalam ekskul dan ormas-ormas Islam.  
Di dunia internasional, maraknya pencekalan bagi mereka yang memiliki identitas Muslim untuk memasuki wilayah Barat menjadi salah satu dampak radikalisme juga. Misalnya kasus pencekalan Yusuf seorang muallaf berkebangsaan Amerika. Semasa masih bernama Cat Stevens ia merupakan penyanyi populer di Amerika, namun saat menjadi Muallaf ia menciptakan lagu yang didedikasikan untuk palestina. Atas hal tersebutlah ia dicekal Amerika yang sudah sangat dengan jelas bahwa ia bukanlah anggota terorisme, dan ini merupakan wujud diskriminasi Amerika terhadap warga Muslm di negaranya[27].
Dikalangan akademisi, ungkapan Samuel P Huntington dianggap cukup propokatif. Dalam bukunya yang berjudul clash of civilizations, Huntington mengungkapkan bahwa Amerika harus mencari musuh alternatifnya pasca perang dingin, dan ia pun memasukkan Islam kedalam kategorinya. Namun dalam bukunya yang berjudul Who Are We? Huntigton dengan jelas menyebutkan bahwa musuh Amerika pasca perang dingin adalah Islam- yang ia tambah pula dengan predikat “militan”-, “This new war between militan Islam and America has many similarities to the cold war”. Lalu, siapakah Islam militan yang dianggap oleh Huntington? Disini Huntington menjelaskan bahwa tidak hanya Al-Qaidah saja yang disebut sebagai militan, melainkan kelompok Islam yang memiliki sikap negatif terhadap Amerika juga dianggap sebagai kelompok Militan yang harus diperangi. Huntington sebagai penasihat politik kawasan Gedung Putih, pada awal Juni 2003, sudah berhasil menjalankan doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif). Dari penjabaran diatas, tampak bagaimana pola pikir seorang ilmuan seperti Huntington, bahwa ia memposisikan Islam sebagai Musuh yang lebih jahat ketimbang komunis[28], serta kebijakannya yang sangat merugikan kaum Muslim dan Negara Islam terkait serangan dini atas dugaan sarang terorisme.


KESIMPULAN DAN PENUTUP
            Kini Radikalisme Islam seolah kehilangan makna dasar. Radikalisme yang seharusnya bermakna pemahaman akan suatu hal dan tindakan yang mendasar hingga ke akar-akarnya, seolah menjadi alasan yang sangat mendasar bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang termasuk tindakan kekerasan. Kini hal tersebut diidentikkan dengan perbuatan kekerasan dan penebaran ancaman berwujud terorisme mengatasnamakan jihad fi sabilillah. Sehingga kehadiran Fundamentalisme Islam yang seharusnya ada untuk memperkuat keyakinan akan nilai keislaman, malah justru menjauh dari substansi pokok kegamaan[29].
            Radikalisme Islam kini seolah terbagi menjadi dua bentuk berdasarkan tindakan yang dilakukannya, yaitu bentuk yang paling ringan dan paling berat. Untuk bentuk radikalisme yang paling ringan adalah mereka yang melakukan upaya terkait penanaman ideologi akan Islam melalui tindakan damai. Upaya tersebut bisa dilakukan melalui jalur politik dan mampu berafiliasi dengan demokrasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tharir Indonesia (HTI). Cita-cita daripada kelompok radikal ini adalah untuk menegakkan kembali sistem khilafiyah dan mereka dengan tegas menolak sistem demokrasi. Sebagai upaya untuk mewujudkannya mereka mampu untuk berafiliasi dengan sistem pemerintahan modern. Kelompok ini dianggap unik, lantaran kelompok Islam ini mendeklarasikan diri mereka sebagai kelompok politik, bukanlah sosial ataupun spiritual[30]. Penulis berpendapat bahwa HTI menjadi kelompok yang lebih moderat dikarenakan beberapa faktor, diantaranya:
1.      Kebanyakan daripada anggota mereka adalah kaum-kaum terpelajar dan berwawasan luas. Sehingga mereka terus mencoba untuk menjawab segala problema agama dengan sistematik dan tergeneral guna memberikan keyakinan yang logis.
2.      Mereka memiliki pandangan yang lebih pluralis dalam mempelajari Islam. Walaupun mereka kelompk yang radikal, akan tetapi mereka tidak menutup suatu forum untuk dilakukannya diskusi tentang keIslaman.
3.      Anggapan bahwa cara damai lebih efisian. Mereka menganggap bahwa dengan cara damai, mereka lebih mudah menarik simpati masyarakat ketimbanng dengan cara kekerasan.
4.      Faktor lingkungan yang mendukung. Sebagaimana yang dijelaskan diatas bahwa mayoritas daripada anggota HTI adalah mereka yang berintelektual tinggi, maka mereka dibesarkan dalam lingkungan yang cenderung paham akan agama dan tidak menafsirkan ayat Al-Quran secara tekstual saja. Dengan kata lain, mereka masih mencoba mencari relevansi suatu ayat terhadap kondisi zaman kini.
Sedangkan untuk bentuk radikalisme Islam yang paling berat adalah mereka yang melakukan penyebaran ideologi Islam melalui cara kekerasan, dalam konteks ini masyarakat global lebih akrab dengan sebutan terorisme. Kelompok yang melakukan tindak kekerasan menganggap bahwa dengan disebarnya teror akan memberikan rasa takut kepada masyarakat dan rasa takut itulah yang menjadikan mereka tunduk dan patuh. Sehingga apa yang dilakukan oleh ISIS, Al-Qaidah, dan Taliban adalah bentuk teror untuk menyebarkan rasa takut dengan banyaknya jumlah korban yang berjatuhan. Penulis juga berpendapat bahwa faktor yang menjadikan mereka malakukan tindak kekerasan (tidak memiiki sikap moderat) adalah:
1.      Jiwa primordialisme yang sangat kuat. Sama seperti Khawarij, mereka sama-sama menganggap bahwa kelompok mereka sendirilah yang paling benar dan menganggap bahwa kelompok lain adalah salah. Sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk membenahinya termasuk dengan kekerasan.
2.      Kejengkelan terhadap Barat. Segala bentuk kekerasan ini bisa dikatakan sebagai puncak daripada kesabaran mereka, dimana kini Barat seolah mendominasi hampir segala aspek politik, ekonomi, dan sosial internasional. Sehingga kerap kali kebijakan mereka menghambat perkembangan Islam.
3.      Anggapan bahwa Islam pernah berjaya dengan perang. Cara penyebaran Islam di Timur-Tengah berbeda dengan penyebaran Islam di Nusantara. Islam di Nusantara disebarkan dengan cara damai, sehingga menjadikan Muslim Nusantara cenderung moderat. Akan tetap sejarah mencatat bahwa penyebaran Islam di Timur-Tengah dan ekspansinya ke sebagian wilayah Barat dengan kekerasan atau perang, sehingga menjadikan mereka Muslim yang tidak cenderung moderat dan menggap bahwa penyebaran ideologi Islam dengan perang cenderung lebih efisien.
4.      Faktor lingkungan yang tidak mendukung. Kaum Khawarij adalah orang-orang Arab Badawi yang hidup di Padang Pasir yang tandus, sehingga watak mereka cenderung keras, sederhana dalam berpikir (tekstual atau tidak pernah mempertanyakan ayat Al-Qur’an), dan tak takut mati[31]. Dan kebanyakan munculnya kelompok Radikalisme Islam saat ini berasal dari daerah Timur yang tidak jauh dari Arab. Peta ideologi daripada negara Arab berbeda-beda, suatu negara di daerah Arab cenderung memiliki pemahaman Islam yang berbeda dengan negara lain (misalnya, mayoritas Muslim di negara Iran adalah mereka yang paham terhadap Syi’ah dan enggan membuka dirinya bagi kehadiran Sunni. Dan begitu pula Yaman dengan mayoritasnya adalah Sunni, seolah menutup pintu pula bagi kehadiran Syi’ah) dan mereka cenderung menutup pintu untuk bertukar pikiran, sehingga berdampak terbentuknya masyarakat Islam yang cenderung tidak moderat serta menimbulkan rasa primordialisme yang tinggi. Maka lingkungan mereka tidak jauh berbeda dengan keadaan lingkungan kaum Khawarij.
Berdasarkan berbagai pemaparan diatas, upaya deradikalisasi Islam haruslah dilakukan secara merata dan hingga ke akar-akarnya melalui berbagai macam aspek. Aspek pendidikan dianggap sebagai salah satu hal yang memiliki faktor penting, karena melalui pendidikanlah ideologi seorang mengalami proses pematangan dan mampu menempatkan posisinya dalam mengambil keputusan yang dianggapnya baik. Pada umunya setiap siswa memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan cara berpikir yang mudah serta tidak kompleks. Kurangnya pemahaman akan agama dan maraknya buku bacaan Islam yang menanampkan paham radikalisme (buku ini dikemas dalam kondisi semenarik mungkin) seolah menjadi solusi akan keingintahuan para siswa untuk menjawab segudang pertanyaannya terkait “apa itu Islam?” Mudahnya cara berpikir menjadikan para siswa untuk membenarkan hal yang mereka baca tanpa diklasifikasi terlebih dahulu, termasuk pembenaran akan dihalalkannya kekerasan untuk menyebarkan Islam.
             Pengaruh akan ideologi tersebutlah yang membuat mereka mau berkecimpung di dalam dunia terorisme, maka koalisi global untuk memberantas terorismepun harus dilakukan. Koalisi ini mencakup kerjasama bilateral, regional, ataupun multilateral. Hassan Wirajuda menyampaikan pesannya kepada dunia global melalui pidatonya pada sidang umum PBB “koalisi itu juga harus menyentuh kepedihan akibat kemiskinan yang merupakan bagian dari ketidakmampuan ekonomi dan sosial, penghinaan akibat tirani dan korupsi, dan kegagalan negara untuk memberikan standar hidup yang pantas bagi harkat manusia”[32].
Berkaca pada teori Liberlisme dalam ilmu hubungan internasional, maka sebagai masyarakat yang kosmopolitan, anggapan bahwa dunia milik bersama, setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi semua individu di bumi ini, termasuk individu yang bukan bagian dari negaranya. Hal itu berarti pula semua negara (tidak hanya negara korban dan yang merasa dirugikan oleh terorisme) memiliki tanggung jawab dalam upaya pemberantasan terorisme sebagai manifestasi daripada usaha penciptaan perdamaian dunia. Sehingga fungsi negara sebagaimana John Locke ungkapkan bisa terwujud yaitu “hakikat daripada dibentuknya negara adalah untuk menjamin hak kepemilikan individual, kebebasan, dan kemanan masyarakatnya terjaga”[33].













DAFTAR PUSTAKA

Arismunandar, Satrio. Doktor Ilmu Pengetahuan dan Budaya UI. Terkait opininya tentang Isis dan Akar Radikalisme Islam Politik.
Effendy, Bahtiar. Agama Publik dan Privat Pengalaman Islam di Indonesia, Jakarta: UIN Press, 2009.
M Daud Al Husaini, Nurdan. Dosen Sekolah Tinggi Islam Negeri (STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe dan Dosen Politeknik Negeri Lhoksumawe, Aceh. Kebangkitan Revolusi Islam Iran. 2013.
Nasution, Harun. Teologi Islam Analisa Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Salemba: UI Press, 2013.
Rijal, Syamsul. Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membanding Khawarij dan Hizbut Tahrir. 2010.
Suharto Rudy, Wihaji PWH, Hojin Chamad. Kumpulan Artikel dari Para Ahli Dalam Terorisme, Perang Global, dan Masa Depan Demokrasi, Depok: Mata Pena, 2004.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2007.

BUKU
Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: PT Raja grafindo persada        Hobden, S. dan Jones, Richard W. 2008. The Globalization of World Politics. London:       Oxford University Press.
 Jackson, R. dan Sorensen, G. 1999. Introduction to International Relations. London: Oxford University Press.
Janita Elias dan Peter Stuch, 2007, The Basic Internasional Relations, USA: Routledge     Jill Steans dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009
 Kant, Immanuel, Toward Perpetual Peace, London: Camridge University Press, 1991
Linklater, A. 1996. Theories of International Relations. hal. 110. London: Macmillan.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2007  
Waltz, N Kenneth Theory of International Political, New York: Random House, 1979
Varma, S.P, Teori politik modern, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2007.






[1] Azra, Azyumardi. Dalam Terorisme, Perang Global, dan Masa Depan Demokrasi, (Depok: Mata Pena, 2004). Cetakan ketiga, hlm 119.
[2] Ibid 111.
[3] Ibid 73.
[4] Effendy, Bahtiar. Agama Pulik dan Privat, (Jakarta: UIN Press, 2009). Cetakan pertama, hlm 79.
[5] Ibid

[8] Nasution, Harun. Teologi Islam Analisa Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Salemba: UI Press, 2013). Cetakan pertama. hlm 14.
[9] Ibid 15
[10] Ibid
[11] Ibid 16
[12] Ibid 17
[13] Ibid 16
[14] Ibid 17
[15] Ibid
[16] Ibid, Dikutip oleh Harun Nasution dari Al-Fisal fi al-Ahwa wa al-Nihal, Kairo, ‘Ali Subelih 1964, jilid V,hlm. 30.
[17] Dikutip dari Jurnal Syamsul Rijal, Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membanding Khawarij dan Hizbut Tahrir, hlm. 215.
[18]  Dikutip dari Jurnal Al Husaini M Daud dan Nurdan, Kebangkitan Revolusi Islam Iran, hlm. 349.
[19] Dikutip dari Opini Satrio Arismunandar, Doktor Ilmu Pengetahuan dan Budaya UI. Dilansir di http://www.nefosnews.com/post/opini/isis-dan-akar-radikalisme-islam-politik.
[20] Peristiwa penyerangan World Trade Center (WTC) dan Pentagon pada Selasa 11 September 2001, dengan dilakukannya pembajakan pesawat dan menabrakkannya ke gedung tersebut. Menjadi lebih gempar karna dua gedung tersebut merupakan simbol kekuasaan ekonomi dan kedigdayaan militer Amerika. Diduga dalang daripada peristiwa ini adalah Osama bin Laden atau pimpinan kelompok Al-Qaidah
[21] Dikutip dari Republika 9 september 2004, Ketakutan Barat Pada Islam Radikal: Radikal dan Moderat dalam Konsep Barat.
[22] Sihbudi, Riza. Dalam Terorisme, Perang Global, dan Masa Depan Demokrasi, (Depok: Mata Pena, 2004). Cetakan ketiga, hlm 76.

[23] Dikutip dari artikel yang digunakan untuk diskusi CRCS dan diskusi Institut Peradaban Jakarta. Dilansir di http://www.csrc.or.id/berita-284-dari-nii-ke-isis-gerakan-islam-radikal-di-indonesia-kontemporer.html
[24] Dikutip dari Opini Satrio Arismunandar, Doktor Ilmu Pengetahuan dan Budaya UI. Dilansir di http://www.nefosnews.com/post/opini/isis-dan-akar-radikalisme-islam-politik.
[25] Jihad dianggap sebagai motivasi terbesar atas tindakan terorisme yang mereka lakukan. Motif ini menjadi dasar utama karna Allah SWT telah menekankan kepada umat-Nya, bahwa ganjaran bagi mereka mati dalam keadaan syahid atau sedang berjihad adalah “masuk surga tanpa melalui hisab (perhitungan)”
[27] Sihbudi, Riza. Dalam Terorisme, Perang Global, dan Masa Depan Demokrasi, (Depok: Mata Pena, 2004). Cetakan ketiga, hlm 113
[28] Husaini, Adian. Dalam Terorisme, Perang Global, dan Masa Depan Demokrasi, (Depok: Mata Pena, 2004). Cetakan ketiga, hlm 106.
[29] Misrawi, Zuhairi. Dalam Terorisme, Perang Global, dan Masa Depan Demokrasi, (Depok: Mata Pena, 2004). Cetakan ketiga, hlm 97.
[30] Dikutip dari Jurnal Syamsul Rijal, Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membanding Khawarij dan Hizbut Tahrir, hlm. 221.
[31] Nasution, Harun. Teologi Islam Analisa Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Salemba: UI Press, 2013). Cetakan pertama. hlm 15.
[32] Dikutip dari Kompas 28 september 2004, Pemberantasan Teroris Harus Sentuh Akarnya.
[33] Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2007). Cetakan ketiga, hlm. 190.