Pemikiran Politik Islam
Radikalisme Islam dan Implikasinya Terhadap
Islam di Dunia Internasional Modern
Makalah
Diajukan untuk
memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata kuliah Pemikiran Politik Islam
Oleh:
Vanny El Rahman (1113113000011)
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1435 H
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Sejak peristiwa kelabu World Trade Center dan
Pentagon, Amerika Serikat 11 September 2001 lalu, teroris dan terorisme menjadi
kosakata baru dalam dunia kekerasan, dan kini sudah tidak asing lagi bagi
masyarkat dunia. Bahkan, dunia mengutuk tindakan tersebut dikarenakan banyaknya
korban yang berjatuhan. Masyarakat global, baik dari berbagai Agama dan suku,
menyatakan sepakat untuk menolak tindakan kekerasan seperti terorisme.
Dugaan terhadap Islam sebagai dalang dari
peristiwa 11/9, menjadikan Islam “diangap” sebagai ideologi yang mengajarkan
segala tindakan radikalisme. Ungkapan tersebut diperkuat pula dengan fakta yang
terjadi bahwa kelompok militan Islam semakin menjadi sorotan di mata dunia.
Sejarah juga mencatat bahwa di masa Khilafah Ar-Rasyidin, Islam pernah
melahirkan suatu kelompok yang memiliki paham radikal. Sehingga kata terorisme
seolah menjadi pelengkap akan ungkapan radikalisme Islam.
Semakin tegangnya hubungan antara
Amerika-Islam merupakan dampak dari kebijakan Bush yang selalu mengidentikkan
Islam sebagai Terorisme. Sedangkan di sisi lain, Amerika dengan alasannya
“untuk memerangi terorisme internasional” melakukan invasi ke berbagai negara
bermayoritaskan Muslim yang lemah seperti Afganistan dan Irak. Akan tetapi
disisi lain Amerika sendiri selalu memberikan dukungannya kepada rezim Zionis
Israel di bawah PM Ariel Sharon yang terus menindas bangsa palestina.
Kebijakan yang telah dijalankan juga membuat hubungan umat Muslim dan
non-Muslim di dunia geram, termasuk Muslim dan non-Muslim di Amerika sendiri.
Islam adalah agama yang menganjurkan hambanya
untuk terus menuntut ilmu dan melarang untuk patuh terhadap suatu hal tanpa
mengerti dasarnya (taqlid). Maka, Islam kini dianggap sebagai agama yang
unik, sehingga multitafsir dalam memandang suatu hukum Islam menjadi hal yang
niscaya, dan hal tersebut juga terjadi pada penafsiran radikalisme dalam Islam.
Implikasi daripada hal tersebut adalah munculnya pembenaran akan tindak
kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok radikal Islam dalam menyebarkan
agama Islam.
Manfaat penulisan
1.
Pembaca diharapkan mampu untuk memahami apa itu hakikat dari
Radikalisme Islam.
2.
Pembaca diharapkan dapat memahami akar ataupun cikal
bakal daripada radikalisme Islam.
3.
Melalui makalah ini penulis berharap pembaca mampu
mengerti faktor-faktor yang menyebabkan radikalisme muncul dan faktor
penyuburnya
4.
Penulis juga berharap pembaca mampu untuk mengerti dampak
daripada radikalisme Islam tersebut bagi masyarakat Islam global.
5.
Terakhir, penulis berharap pembaca mampu mengambil sikap
dan dapat mengambil posisi sebaik-baiknya dalam menanggapi radikalisme Islam.
Rumusan Masalah
1.
Apa itu hakikat daripada “Radikalisme” Islam?
2.
Apa saja faktor-faktor penyebab munculnya Radikalisme
Islam ?
3.
Bagaimanakah upaya daripada deradikalisasi Islam?
RADIKALISME ISLAM DARI BERBAGAI ASPEK
Radikalisme pada umumnya memiliki makna ganda jika
bertolak dari kamus besar bahasa indonesia (KBBI), yaitu pemahaman yang
mendalam hingga ke akarnya akan suatu prinsip, dan paham atau aliran yang
menginginkan perubahan serta pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan. Istilah “Radikalisme” Islam sering disamaartikan dengan
fundamentalis, revivalisme, ataupun neo-fundamentalis Islam, walaupun secara
harfiah makna dari setiap kata tersebut berbeda namun semuanya merujuk kepada
“kebangkitan” gerakan islam.
Jika menjabarkan lagi berdasarkan dua
pengertian diatas, maka radikalisme secara hakikatnya memiliki dua bentuk implementasi. Untuk
pengertian yang pertama, radikalisme bisa dipahami berdasarkan pemahaman yang
mendalam akan agama Islam. Sedangkan untuk pengertian yang kedua radikalisme
dianggap sebagai suatu bentuk lain daripada tindakan terorisme.
Yusuf Qaradhawi memiliki pemahaman yang cukup menarik
untuk diperbincangkan terkait apa itu radikalisme. Dunia Islam mengenalnya
sebagai muslim taat yang tidak pernah bermain-main dalam menetapkan suatu hukum
dan pandangan. Ia mendefinisikan radikalisme sebagai “being situated at the
farthest possible point from the center”.
Diperkuat pula dengan pendapatnya bahwa tindakan radikal adalah “exposure
to danger and insecurity”.
Menurutnya, radikalisme merupakan suatu kondisi yang “paling jauh dari pusat”
atau radikalisme bukanlah merupakan sirath almustaqim yang ditunjukkan
oleh Allah kepada umatnya.
Munculnya tindakan radikalisme Islam tidak
lain merupakan bentuk protes ataupun penyampaian aspirasi umat Islam terhadap
dunia Barat. Dikatakan demikian karena gerakan radikalisme Islam kontemporer
diduga muncul pertama kali pada abad ke-20 (pasca meletusnya Revolusi Iran yang
dipimpin oleh Imam Khomeini pada 1979) di dunia muslim, terutama timur tengah,
sebagai produk dari krisis identitas yang berujung pada reaksi dan resistensi
terhadap barat yang melebarkan kolonialisasi di dunia muslim.
Di era modern kini, ungkapan radikalisme Islam
sering dikonotasikan kepada gerakan negatif Islam. Dalih-dalih untuk menegakkan
syariat Islam di muka bumi inilah yang mereka jadikan sebagai alasan untuk
menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya, termasuk hal yang sudah jelas
dilarang oleh agama sekalipun. Misalnya gerakan Islamic State of Iraq and Syirah
(ISIS), cara yang mereka lakukan untuk mencapai tujuan mereka adalah melakukan
pembajakan terhadap kilang minyak, pembantaian warga sipil, dan penyiksaan massal.
Berdasarkan data yang dikeluarkan PBB hingga bulan Agustus 2014 terdapat
sebanyak 5507 korban
dan hingga bulan september 2014 lebih dari 1,2 juta penduduk Irak harus
mengungsi dari rumahnya. Untuk
konteks ini kata radikalisme bisa dikatakan sebagai sikap ekstrem dalam suatu
aliran politik
Radikalisme Islam Klasik
Radikalisme
Islam sendiri bukanlah hal yang baru bagi kaum muslimin dan para akademisi
muslim. Akar kemunculan radikalisme Islam tidaklah bisa terlepas dari peristiwa
terpecahnya golongan Ali bin Abi Thalib kedalam dua golongan, yaitu mereka yang
masih setia terhadap Ali disebut Syiah dan mereka yang membangkak dari
keputusan Ali disebut Khawarij. Terpecahnya golongan Ali (Kawarij)
merupakan bentuk kekecewaan para pendukungnya atas keputusan tahkim (arbitrase)
yang dilakukan oleh Khalifah Ali dalam menyelesaikan sengketa Perang Siffin melawan
Muawiyah bin Abi Sofyan. Kaum Khawarij inilah yang dianggap sebagai perintis lahirnya
kelompok radikalisme Islam klasik.
Kaum
Khawarij (sebagai aliran teologis) mulanya keluar dari barisan Ali karena
menganggap bahwa perbuatan yang dilakukan oleh khalifah dengan menggantungkan
hukum tidak kepada Allah SWT dianggap telah menyalahi syariat Islam, sehingga
mereka menganggap bahwa Ali beserta Muawiyah telah keluar dari agama Islam
(kafir). Namun dalam menanggapi masalah ketatanegaraan (sebagai aliran politis),
rupanya Khawarij memiliki pandangan sendiri yang lebih demokratis bahwa seorang
pemimpin tidaklah harus dari Kaum Quraisy, mereka beranggapan bahwa imam (pemimpin)
harusnya dipilih secara bebas oleh seluruh umat islam.
Atas sikap dan perilakunya, Khawarij ini tidak lagi dianggap sebagai golongan
teologis semata, mereka kerap kali disebut sebagai golongan
teologis-polits.
Terkait pembahasan teologis dalam kalangan
Khawarij, mereka mulai memasuki persoalan “siapakah yang disebut kafir atau
keluar dari Islam?”. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan
siapa yang telah keluar dari Islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang
bersangkut-paut dengan hal ini tidak selamanya sama, sehingga timbullah
berbagai golongan dalam kalangan Khawarij sendiri.
Diantara sekte-sekte Khawarij itu adalah: Khawarij Al-Surifah, Al-Azariqah,
Al-Najdat, Al-Muhakkamah, dan masih banyak lagi. Menurut Al-Syahrastani mereka
terpecah menjadi 18 sekte dan menurut Al-Baghdadi mereka terpecah menjadi 20
sekte serta menurut Al-Asy’ari mereka terpecah menjadi subsekte-subsekte yang
lebih banyak lagi.
Diantara
berbabagi macam golongan tersebut, golongan Al-Azariqahlah yang dipandang
sebagai golongan paling radikal. Mereka tidak lagi menggunakan istilah kafir
bagi yang tidak sepaham dengan mereka, melainkan mereka menggunakan istilah musyrik
(menyekutukan tuhan) atau Polytheist
, yang mana musyrik dalam islam merupakan dosa yang paling besar. Mereka menggunkana
konsep dar al-Islam (wilayah Islam) yang dianggap sebagai tempat tinggal
mereka dan dar al-kufr (wilayah kafir) yang dianggap sebagai tempat
selain mereka tinggal.
Sehingga mereka menganggap bahwa setiap muslim yang tidak mau berhijrah ke dalam
wilayahnya maka mereka dianggap musyrik
dan halal untuk ditawan, dijadikan budak, hingga dibunuh, dan hal tersebut
berlaku pula bagi istri dan anaknya. Menurut
paham golongan ini yang disebut sebagai orang Islam hanyalah mereka yang
tinggal di dar al-Islam, selain itu mereka harus diperangi.
Mereka juga selalu melakukan isti’rad yaitu bertanya tentang pendapat
dan keyakinan seseorang, siapa saja yang mereka jumpai dan mengaku orang Islam
tapi tak termasuk dalam golongan Al-Azariqah, maka mereka harus dibunuh.
Atas berbagai tindakan keras yang dilakukan oleh Khawarij inilah, maka mereka
dianggap sebagai kelompok perintis lahirnya gerakan radikalisme Islam di era
Islam klasik.
Radikalisme Islam Kontemporer
Cikal bakal daripada radikalisme islam di era
kontemporer adalah hancurnya sistem pemerintahan ala Islam, khilafah, menjadikan dunia Islam
terpecah-belah di berbagai belahan benua, sehingga pengikisan moral, mulai
redupnya ikatan ukhuwah islamiyah, dan rendahnya nilai keimanan adalah
hal yang tidak lagi bisa dihindarkan terutama untuk membendung proyek
modernisasi yang dicanangkan oleh pemerintah baru yang berhaluan Barat mulai
dilakukan.
Dan penyebaran akan demokrasi itulah yang sering dianggap sebagai proyek Barat
yang mereka sebarluaskankan ke berbagai wilayah, termasuk wilayah Islam. Karena
masih adanya sebagian Muslim yang berpikir bahwa demokrasi adalah produk Barat
sedangkan Islam adalah produk Timur, maka tidak akan ada titik pertemuan antara
dua hal tersebut.
Sebagaimana
hal yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Revolusi Iran 1979 menjadi tolak
ukur dari kebangkitan radikalisme Islam di era kontemporer. Keberhasilan
Revolusi Iran adalah sebuah deskripsi dramatis bagi semangat kebangkitan Islam
militan di bekas Kerajaan Persia tempo dulu, tidak saja membuat miris rezim
semi-feodal di dunia Arab, namun juga menimbulkan kekhawatiran berat di dunia
Barat. Iran saat itu menjadi good boy-nya Amerika, dimana segala
kebijakannya selalu menguntungkan Israel dan pro Barat, juga dianggap sebagai
“posko-Luar” bagi imperialisme Amerika di Timur Tengah.
Lengsernya Shah Iran dari kursi kepemimpinan membuat geger dunia Barat,
terutama Amerika. Pasalnya selain dikhawatirkan pemerintahan yang baru tidak
akan pro terhadap Barat, berhasilnya revolusi yang dipelopori oleh Ayatollah
Ruhullah ini di duga menjadi semangat awal untuk munculnya tindakan radikalisme
Islam di berbagai daerah.
Keberhasilan
Ayatollah dan militan Muslim saat menlengserkan Shah Iran menimbulkan
intrepretasi bahwa semangat keislaman dengan suatu tindakan nyata akan mampu
untuk melengserkan suatu rezim yang dianggap dzolim. Menarik untuk
diketahui bahwa terjadinya perebutan kekuasaan serta dilengserkannya rezim tersebut
dilakukan tanpa sedikitpun ada pertumpahan darah rakyat.
Menurut Ali Mamouri,
kolumnis dan peneliti agama yang banyak mengajar di berbagai kampus di Iran dan
Irak, fundamentalisme atau
radikalisme Islam dalam bentuknya
yang sekarang sebagai gerakan sosial, terlepas dari latar belakang religius
historisnya, adalah fenomena baru. Usianya kira-kira baru 100 tahun. Gerakan
ini merupakan reaksi dari kondisi kerapuhan dan kelemahan negara-negara Islam, dibandingkan
dengan kejayaan masa lalunya. Karena itu, kaum
radikalisme muncul bukan dari
lingkaran konservatif, namun justru lebih banyak dari gerakan-gerakan reformis
yang bertujuan ke arah “kebangkitan Islam”. Unik memang jika kita melihat bahwa terjadinya
Revolusi Iran tanpa adanya sedikitpun pertumpahan darah, sangat berbeda jika
kita melihat berbagai tindakan Radikalisme Islam yang lebih kekinian ketimbang
revolusi tersebut.
Menjamurnya
gerakan Islam baru yang bersifat radikal seperti Al-Qaidah, Hizbut Tahrir,
ISIS, dan Taliban menjadi dampak dari berhasilnya Revolusi Iran. Namun di masa
kini, Radikalisme Islam sudah di cap sebagai suatu tindakan terorisme. Padahal
tidak semua gerakan radikalisme Islam selalu melakukan kekerasan, misalnya yang
dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam memperjuangkan keinginannya
untuk mendirikan sistem khilafiyah di bumi nusantara, cara mereka yaitu
berafiliasi melalui gerakan politik dan demokrasi.
Islam
mendapat sorotan tajam oleh dunia semejak terjadinya peristiwa pembajakan
pesawat yang diduga didalangi oleh kelompok militan Islam Al-Qaidah. Peristiwa
tersebut juga memakan korban yang tidak sedikit, sehingga peristiwa itu dikenal
dengan Black Tuesday 11/9 dan itulah
contoh daripada Radikalisme Islam yang dilakukan dengan kekerasan. Semejak
peristiwa itu pula segala gerakan radikalisme Islam mendapatkan label terorisme
dan anti-Barat. Pasca peristiwa tersebut, Amerika langsung mendeklarasikan
negaranya untuk memerangi terorisme. Selain melalui jalan bersenjata, Amerika
juga menyiapkan dana sebesar 1 milliar dolar AS pada tahun 2004 yang digunakan
untuk kegiatan pertukaran pendidikan dan kebudayaan anatara Amerika dengan
negara-negara Islam yang berpengaruh. Hal
tersebut merupakan wujud keseriusan sekaligus ketakutan Amerika dalam
menanggapi Radikalisme Islam.
Segala
tindakan terorisme yang dilakukan oleh Al-Qaidah, ISIS dan kelompok Islam
radikal lainnya merupakan manifestasi anti-Barat. Adanya ungkapan tersebut
tidak lepas dari adanya aliran dalam Islam yang menganggap bahwa demokrasi
bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut diperkuat pula dengan ungkapan
Ali Benhadi, bahwa demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem yang cacat (a
flawled system), semua upaya untuk mensistesiskan Islam dan demokrasi
selalu terbentuk pada batu karang bernama “kumpulan doktrin yang abadi dan
tidak bisa diubah” yang merupakan intisari setiap agama.
Penyebaran sistem demokrasi yang dilakukan oleh Barat sering dianggap sebagai
kolonialisme cara baru di era modern. Oleh dasar itulah Radikalisme Islam
diaggap sebagai ancaman bagi demokrasi terutama bagi pihak Barat.
Hubungan antara radikalisme islam klasik dan
kontemporer
Jika
dicermati lebih mendalam, ternyata faktor-faktor yang menyebabkan muncul dan
berkembang suburnya Radikalisme Islam di era kontemporer lebih kompleks
ketimbang di era klasik. Jika pada awalnya Khawarij muncul berakar pada permasalahan
teologi, kini kemunculan berbagai gerakan Radikal Islam lebih variatif.
Misalnya menyangkut permasalahan politik yaitu tidak sukanya sebagian Muslim
(termasuk anggota dari kelompok militan Islam) terhadap sistem demokrasi dan
cara penyebarannya, permasalahan ekonomi yaitu kebijakan ekonomi global yang
kerap kali cenderung menguntungkan Barat beserta sekutunya, dan permasalahan
sosial dan komunikasi yaitu tidak dibebaskannya Muslim di beberapa negara Barat
dalam menjalankan syariatnya.
Walaupun
terdapat perbedaan latar belakang, motivasi, kegiatan dan aktivitas, serta
bentuk keorganisasian akan kelompok Radikal Islam tersebut, masih terdapat kesamaan
doktrin antara kelompok-kelompok Radikal Islam diatas, antara lain:
1. Membentuk sebuah kekuasaan Islam baik itu
berupa negara Islam atau kekhilafahan Islam. Karena mereka menganggap bahwa
Islam adalah agama yang lengkap dengan segala aturan berpolitiknya dan syariat
Islamlah yang bisa membawa kepada keadilan.
2. Memutus hubungan dengan masyarakat
kontemporer. Dalam pikiran mereka, masyarakat saat ini dianggap “tidak suci”
karena telah bertumpu kepada hukum yang tidak bersandar kepada hukum Allah SWT
(konsep takfir). Takfir (pengkafiran) itupun berlaku bagi Muslim yang
tidak setuju terhadap agenda Islamis mereka.
3. Menciptakan teokrasi. Dalam pandangan mereka,
sistem kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya, dll) yang tidak berasal
dari Islam adalah kafir. Mereka menentang demokrasi dan otoriter dengan menyebut
bahwa sistem tersebut bukanlah berasal dari Islam. Golongan Islamis selalu
menggunakan slogannya “syariah adalah solusi dan Alquran adalah konstitusi”.
Tujuan fundamentalisme Islam pada faktanya memang kembali kepada “teks suci,” dan
dengan cermat mengeksekusi apa yang dinyatakan dalam teks tersebut, tanpa
interpretasi apapun. Ia juga menolak interpretasi historis yang resmi dan lebih
bersifat konservatif terhadap “teks suci.” Bagi kaum fundamentalis seperti
ISIS, kembali ke pembacaan orisinal dan primer terhadap “teks suci” dan
menghindari setiap interpretasi yang muncul kemudian, adalah solusi bagi
seluruh problem yang dihadapi umat Islam sekarang. Dikatakan hal tersebut karena dalil yang mereka
gunakan untuk mengatasnamakan tindakan mereka adalah “laa hukmu illaallah”
dan “wa man laa yahkum bimaa anzalallhu faulaaika humul kaafiruun”,
sehingga mereka menyebut tindakan kekerasan mereka dengan jihad.
Sebagaimana
hal yang telah dijelaskan diatas, rupanya radikalisme memiliki dampak yang
sangat berpengaruh baik dalam tingkatan nasional maupun internasional. Di bumi
Nusantara, pernah muncul sebuah ungkapan yang cukup menggegerkan yang
diungkapkan oleh Prof Bambang Pranowo, yang menunjukkan data statistik betapa
besarnya anggota ekstrakulikuler sekolah keIslaman yang menjadi anggota teroris,
ia juga menyebutkan pola-pola perekrutannya. Hal
ini berdampak terhadap munculnya kekhawatiran orang tua terhadap anak-anaknya
yang berpartisipasi dalam ekskul dan ormas-ormas Islam.
Di
dunia internasional, maraknya pencekalan bagi mereka yang memiliki identitas
Muslim untuk memasuki wilayah Barat menjadi salah satu dampak radikalisme juga.
Misalnya kasus pencekalan Yusuf seorang muallaf berkebangsaan Amerika. Semasa
masih bernama Cat Stevens ia merupakan penyanyi populer di Amerika, namun saat
menjadi Muallaf ia menciptakan lagu yang didedikasikan untuk palestina. Atas
hal tersebutlah ia dicekal Amerika yang sudah sangat dengan jelas bahwa ia
bukanlah anggota terorisme, dan ini merupakan wujud diskriminasi Amerika
terhadap warga Muslm di negaranya.
Dikalangan akademisi, ungkapan Samuel P Huntington dianggap cukup
propokatif. Dalam bukunya yang berjudul clash of civilizations, Huntington
mengungkapkan bahwa Amerika harus mencari musuh alternatifnya pasca perang
dingin, dan ia pun memasukkan Islam kedalam kategorinya. Namun dalam bukunya
yang berjudul Who Are We? Huntigton dengan jelas menyebutkan bahwa musuh
Amerika pasca perang dingin adalah Islam- yang ia tambah pula dengan predikat
“militan”-, “This new war between militan Islam and America has many
similarities to the cold war”. Lalu, siapakah Islam militan yang dianggap
oleh Huntington? Disini Huntington menjelaskan bahwa tidak hanya Al-Qaidah saja
yang disebut sebagai militan, melainkan kelompok Islam yang memiliki sikap
negatif terhadap Amerika juga dianggap sebagai kelompok Militan yang harus
diperangi. Huntington sebagai penasihat politik kawasan Gedung Putih, pada awal
Juni 2003, sudah berhasil menjalankan doktrin preemptive strike
(serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif). Dari
penjabaran diatas, tampak bagaimana pola pikir seorang ilmuan seperti
Huntington, bahwa ia memposisikan Islam sebagai Musuh yang lebih jahat
ketimbang komunis,
serta kebijakannya yang sangat merugikan kaum Muslim dan Negara Islam terkait
serangan dini atas dugaan sarang terorisme.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Kini Radikalisme Islam seolah kehilangan makna
dasar. Radikalisme yang seharusnya bermakna pemahaman akan suatu hal dan
tindakan yang mendasar hingga ke akar-akarnya, seolah menjadi alasan yang
sangat mendasar bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang termasuk tindakan
kekerasan. Kini hal tersebut diidentikkan dengan perbuatan kekerasan dan
penebaran ancaman berwujud terorisme mengatasnamakan jihad fi sabilillah.
Sehingga kehadiran Fundamentalisme Islam yang seharusnya ada untuk memperkuat
keyakinan akan nilai keislaman, malah justru menjauh dari substansi pokok
kegamaan.
Radikalisme
Islam kini seolah terbagi menjadi dua bentuk berdasarkan tindakan yang
dilakukannya, yaitu bentuk yang paling ringan dan paling berat. Untuk bentuk
radikalisme yang paling ringan adalah mereka yang melakukan upaya terkait
penanaman ideologi akan Islam melalui tindakan damai. Upaya tersebut bisa
dilakukan melalui jalur politik dan mampu berafiliasi dengan demokrasi,
sebagaimana yang dilakukan oleh Hizbut Tharir Indonesia (HTI). Cita-cita
daripada kelompok radikal ini adalah untuk menegakkan kembali sistem khilafiyah
dan mereka dengan tegas menolak sistem demokrasi. Sebagai upaya untuk
mewujudkannya mereka mampu untuk berafiliasi dengan sistem pemerintahan modern.
Kelompok ini dianggap unik, lantaran kelompok Islam ini mendeklarasikan diri
mereka sebagai kelompok politik, bukanlah sosial ataupun spiritual.
Penulis berpendapat bahwa HTI menjadi kelompok yang lebih moderat dikarenakan
beberapa faktor, diantaranya:
1. Kebanyakan
daripada anggota mereka adalah kaum-kaum terpelajar dan berwawasan luas. Sehingga mereka terus mencoba untuk menjawab
segala problema agama dengan sistematik dan tergeneral guna memberikan
keyakinan yang logis.
2. Mereka memiliki
pandangan yang lebih pluralis dalam mempelajari Islam. Walaupun mereka kelompk yang radikal, akan
tetapi mereka tidak menutup suatu forum untuk dilakukannya diskusi tentang
keIslaman.
3. Anggapan bahwa
cara damai lebih efisian. Mereka menganggap bahwa dengan cara damai, mereka lebih mudah menarik
simpati masyarakat ketimbanng dengan cara kekerasan.
4. Faktor lingkungan
yang mendukung. Sebagaimana yang dijelaskan diatas bahwa mayoritas daripada anggota HTI
adalah mereka yang berintelektual tinggi, maka mereka dibesarkan dalam
lingkungan yang cenderung paham akan agama dan tidak menafsirkan ayat Al-Quran
secara tekstual saja. Dengan kata lain, mereka masih mencoba mencari relevansi
suatu ayat terhadap kondisi zaman kini.
Sedangkan untuk bentuk radikalisme Islam yang
paling berat adalah mereka yang melakukan penyebaran ideologi Islam melalui
cara kekerasan, dalam konteks ini masyarakat global lebih akrab dengan sebutan
terorisme. Kelompok yang melakukan tindak kekerasan menganggap bahwa dengan
disebarnya teror akan memberikan rasa takut kepada masyarakat dan rasa takut
itulah yang menjadikan mereka tunduk dan patuh. Sehingga apa yang dilakukan
oleh ISIS, Al-Qaidah, dan Taliban adalah bentuk teror untuk menyebarkan rasa
takut dengan banyaknya jumlah korban yang berjatuhan. Penulis juga berpendapat
bahwa faktor yang menjadikan mereka malakukan tindak kekerasan (tidak memiiki
sikap moderat) adalah:
1. Jiwa primordialisme
yang sangat kuat. Sama seperti Khawarij, mereka sama-sama menganggap bahwa kelompok mereka
sendirilah yang paling benar dan menganggap bahwa kelompok lain adalah salah.
Sehingga mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk membenahinya termasuk
dengan kekerasan.
2. Kejengkelan
terhadap Barat. Segala bentuk kekerasan ini bisa dikatakan sebagai puncak daripada
kesabaran mereka, dimana kini Barat seolah mendominasi hampir segala aspek
politik, ekonomi, dan sosial internasional. Sehingga kerap kali kebijakan
mereka menghambat perkembangan Islam.
3. Anggapan bahwa
Islam pernah berjaya dengan perang. Cara penyebaran Islam di Timur-Tengah berbeda dengan
penyebaran Islam di Nusantara. Islam di Nusantara disebarkan dengan cara damai,
sehingga menjadikan Muslim Nusantara cenderung moderat. Akan tetap sejarah
mencatat bahwa penyebaran Islam di Timur-Tengah dan ekspansinya ke sebagian
wilayah Barat dengan kekerasan atau perang, sehingga menjadikan mereka Muslim
yang tidak cenderung moderat dan menggap bahwa penyebaran ideologi Islam dengan
perang cenderung lebih efisien.
4. Faktor
lingkungan yang tidak mendukung. Kaum Khawarij adalah orang-orang Arab Badawi yang hidup
di Padang Pasir yang tandus, sehingga watak mereka cenderung keras, sederhana
dalam berpikir (tekstual atau tidak pernah mempertanyakan ayat Al-Qur’an), dan
tak takut mati.
Dan kebanyakan munculnya kelompok Radikalisme Islam saat ini berasal dari
daerah Timur yang tidak jauh dari Arab. Peta ideologi daripada negara Arab
berbeda-beda, suatu negara di daerah Arab cenderung memiliki pemahaman Islam
yang berbeda dengan negara lain (misalnya, mayoritas Muslim di negara Iran
adalah mereka yang paham terhadap Syi’ah dan enggan membuka dirinya bagi
kehadiran Sunni. Dan begitu pula Yaman dengan mayoritasnya adalah Sunni, seolah
menutup pintu pula bagi kehadiran Syi’ah) dan mereka cenderung menutup pintu untuk
bertukar pikiran, sehingga berdampak terbentuknya masyarakat Islam yang
cenderung tidak moderat serta menimbulkan rasa primordialisme yang tinggi. Maka
lingkungan mereka tidak jauh berbeda dengan keadaan lingkungan kaum Khawarij.
Berdasarkan berbagai pemaparan diatas, upaya
deradikalisasi Islam haruslah dilakukan secara merata dan hingga ke
akar-akarnya melalui berbagai macam aspek. Aspek pendidikan dianggap sebagai
salah satu hal yang memiliki faktor penting, karena melalui pendidikanlah ideologi
seorang mengalami proses pematangan dan mampu menempatkan posisinya dalam
mengambil keputusan yang dianggapnya baik. Pada umunya setiap siswa memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi dan cara berpikir yang mudah serta tidak kompleks.
Kurangnya pemahaman akan agama dan maraknya buku bacaan Islam yang menanampkan
paham radikalisme (buku ini dikemas dalam kondisi semenarik mungkin) seolah
menjadi solusi akan keingintahuan para siswa untuk menjawab segudang
pertanyaannya terkait “apa itu Islam?” Mudahnya cara berpikir menjadikan para
siswa untuk membenarkan hal yang mereka baca tanpa diklasifikasi terlebih
dahulu, termasuk pembenaran akan dihalalkannya kekerasan untuk menyebarkan
Islam.
Pengaruh akan ideologi tersebutlah yang
membuat mereka mau berkecimpung di dalam dunia terorisme, maka koalisi global
untuk memberantas terorismepun harus dilakukan. Koalisi ini mencakup kerjasama
bilateral, regional, ataupun multilateral. Hassan Wirajuda menyampaikan
pesannya kepada dunia global melalui pidatonya pada sidang umum PBB “koalisi
itu juga harus menyentuh kepedihan akibat kemiskinan yang merupakan bagian dari
ketidakmampuan ekonomi dan sosial, penghinaan akibat tirani dan korupsi, dan
kegagalan negara untuk memberikan standar hidup yang pantas bagi harkat
manusia”.
Berkaca pada teori Liberlisme dalam ilmu
hubungan internasional, maka sebagai masyarakat yang kosmopolitan, anggapan
bahwa dunia milik bersama, setiap negara memiliki tanggung jawab untuk
melindungi semua individu di bumi ini, termasuk individu yang bukan bagian dari
negaranya. Hal itu berarti pula semua negara (tidak hanya negara korban dan
yang merasa dirugikan oleh terorisme) memiliki tanggung jawab dalam upaya
pemberantasan terorisme sebagai manifestasi daripada usaha penciptaan
perdamaian dunia. Sehingga fungsi negara sebagaimana John Locke ungkapkan bisa
terwujud yaitu “hakikat daripada dibentuknya negara adalah untuk menjamin hak
kepemilikan individual, kebebasan, dan kemanan masyarakatnya terjaga”.
DAFTAR PUSTAKA
Effendy, Bahtiar. Agama Publik dan Privat Pengalaman Islam di
Indonesia, Jakarta: UIN Press, 2009.
M Daud Al Husaini, Nurdan. Dosen Sekolah Tinggi Islam Negeri
(STAIN) Malikussaleh Lhokseumawe dan Dosen Politeknik Negeri Lhoksumawe, Aceh. Kebangkitan
Revolusi Islam Iran. 2013.
Nasution, Harun. Teologi Islam Analisa Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, Salemba: UI Press, 2013.
Rijal, Syamsul.
Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan
Selatan. Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membanding Khawarij dan
Hizbut Tahrir. 2010.
Suharto Rudy,
Wihaji PWH, Hojin Chamad. Kumpulan Artikel dari Para Ahli Dalam Terorisme,
Perang Global, dan Masa Depan Demokrasi, Depok: Mata Pena, 2004.
BUKU
Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian
Sosial, Jakarta: PT Raja grafindo persada Hobden, S. dan Jones, Richard W. 2008. The Globalization of
World Politics. London: Oxford University Press.
Jackson,
R. dan Sorensen, G. 1999. Introduction to
International Relations. London: Oxford University Press.
Janita Elias dan Peter
Stuch, 2007, The Basic Internasional Relations, USA: Routledge Jill
Steans dan Lloyd Pettiford. Hubungan Internasional Perspektif dan Tema,
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009
Kant,
Immanuel, Toward Perpetual Peace, London: Camridge University Press, 1991
Linklater, A. 1996. Theories of International
Relations. hal. 110. London: Macmillan.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2007
Waltz, N Kenneth
Theory of International Political, New
York: Random House, 1979
Varma, S.P, Teori politik modern, Jakarta:
PT Raja Grafindo persada, 2007.
Dikutip dari Jurnal Syamsul
Rijal, Radikalisme Islam Klasik dan Kontemporer: Membanding Khawarij dan
Hizbut Tahrir, hlm. 215.
Dikutip dari Jurnal Al Husaini M Daud dan
Nurdan, Kebangkitan Revolusi Islam Iran, hlm. 349.
Dikutip dari
artikel yang digunakan untuk diskusi CRCS dan diskusi Institut Peradaban
Jakarta. Dilansir di
http://www.csrc.or.id/berita-284-dari-nii-ke-isis-gerakan-islam-radikal-di-indonesia-kontemporer.html