test

Minggu, 05 April 2015

Reading Review Pengkajian Stratejik.
·         Mearsheimer, J. John and Walt, M. Stephen, An Unnecessary War, 2003.
·         Mearsheimer, J. John and Walt, M. Stephen, Keeping Saddam Hussein in a Box, 2003.

Nama Mahasiswa        : Vanny El Rahman
NIM                            : 1113113000011 (HI/B, Jumat 09.45-11.45)
                                                                                                                                               
Saddam Hussein: Antara Fakta atau Isu Belaka
Wilayah Timur Tengah dengan berbagai potensi sumber daya alamnya (SDA) serta mayoritas sistem pemerintahan negara yang otoriter, seolah mengundang dunia untuk menjadikan Timur Tengah sebagai wilayah yang patut diperhitungkan dan diperbincangkan. Berbicara mengenai sejarah dan perkembangan Timur Tengah, maka tidak bisa lepas daripada figur Saddam Hussein. Presiden Irak yang telah berkuasa selama 30 tahun ini berhasil menjadikan negaranya sebagai trending topic di akhir abad 20 hingga awal abad 21. Saddam Hussein dengan segala hal yang dilakukannya berhasil menjadi tokoh yang debatable diberbagai kalangan misalnya, ilmuan, masyarakat internasional, dan George Bush beserta jajarannya (yang dalam kasus ini adalah pihak pemerintahan Amerika Serikat).
Sisi unik daripada Saddam Hussein adalah dirinya berhasil membuat berbagai kalangan untuk mendefinisikan dirinya dalam pengertian yang berbeda, bahkan Amerika Serikat pun (AS) memiliki definisi yang berbeda untuk memahami seorang Saddam. Bush beserta jajarannya memandang figur Saddam Hussein sebagai orang yang sembrono, tidak berperi kemanusiaan, tidak rasional dan selalu mengalami kesalahan tindakan. Amerika juga menyebutkan bahwa Saddam Hussein jika dikombinasikan dengan nuklir atau weapon of mass destruction (WMD), maka akan menjadi sosok yang menakutkan dan tidak dapat diprediksi ataupun dicegah. Atas ungkapan tersebut, Hussein secara tidak langsung merupakan tokoh yang merubah haluan kebijakan luar negeri AS.
            Dasar daripada hubungan antara AS dan Irak inididasari oleh tiga garis besar yaitu, (1) Dugaan kepemilikan (Irak) senjata pemusnah massal (WMD); (2) Rezim Saddam Hussein yang harus segera diakhiri (karena AS memandang Saddam sebagai the evil agrgressor); (3) Kekhawatiran AS terhadap adanya hubungan antara Saddam Hussein dengan Osama bin Laden (pemimpin Alqaeda).
            Pertama, data yang dimiliki oleh intelejen AS menunjukkan bahwa Irak dibawah rezim Hussein memiliki senjata pemusnah massal. Amerika pun menjelaskan bahwa Hussein dengan kepemilikannya akan WMD, menjadikannya sosok yang tidak dapat dicegah. Kemudian Amerika berhasil menghasut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan pemeriksaan terhadap Irak atas dugaan kepemilikan nuklir dan senjata pemusnah masal. Namun hal yang ditemukan oleh PBB adalah tidak ada satupun daripada ungkapan AS yang dilemparkan kepada Irak melainkan sebuah kebohongan belaka. Dengan kata lain, Hussein telah terbukti tidak memiliki senjata pemusnah masal, hal yang lebih tidak logisnya lagi adalah dalam keadaan Irak yang sedang menerima embargo ekonomi dari Amerika, apakah Irak memiliki cukup dana untuk pengembangan WMD tersebut? Dan apakah mungkin jika Irak melakukan pengembangan tersebut, AS dan PBB tidak berhasil menemukan tanda-tanda tersebut?
            Kedua, gelar evil aggressor yang dimiliki oleh Saddam tidak lepas dari faktor sejarah yang telah ia alami. Irak dibawah rezim Hussein telah mengalami dua kali perang yaitu, Perang Irak-Iran (1980-1988) dan Perang Irak-Kuwait (1990-1991). Amerika menilai keputusan perang yang diambil oleh Hussein tidak lain sebagai bentuk pemikirannya yang tidak rasional. Namun Mearshmeir dengan berbagai argumennya telah memberikan bukti bahwa keputusan perang yang diambil oleh Hussein justru menjadikannya sebagai tokoh yang rasional.
            Perang Irak-Iran perlu dikaji lebih dalam lagi bahwa keputusan Hussein untuk menyerang Iran bukanlah keputusan yang sembrono. Diantara kebijakan Khomeini -Presiden Iran- yang memicu tindakan agresi Irak adalah Revolusi Iran (revolusi oleh Khomeini untuk melengserkan Reza Pahlavi). Kemudian terkait kebijakan luar negeri Iran adalah Revolusi “Islam” Iran yaitu usaha dari Khomeini untuk menjadikan regional Timur Tengah menjadi regional Islam berdasarkan perspektif Khomeini. Perang Irak-iran tidak pula lepas daripada faktor ideologi pemimpin kedua negara, diketahui bahwa Saddam merupakan seorang Sunni dan Khomeini merupakan seorang Syi’ah. Berbagai negara Timur Tengah juga merasa terganggu dengan Revolusi Islam Iran, sehingga Irak mendapat dukungan dari berbagai negara diantaranya, Arab Saudi, Kuwait, Perancis, dan As.  Faktor keamanan juga memiliki andil besar, Irak melihat ketidakstabilitasan politik domestik Iran merupakan kesempatan untuk Hussein melakukan penyerangan terlebih dahulu. Perang selama 8 tahun ini setidaknya telah menghabiskan $150 juta. Atas berbagai penjelasan diatas, Mearsheimer justru melihat Saddam Hussein sebagai figur yang opportunistic ketimbang irrasional.
            Argumen Mearsheimer diperkuat pula dengan analisinya mengenai Perang Irak-Kuwait. Irak melakukan penyerangan terlebih dahulu kepada Kuwait dikarenakan beberapa faktor seperti, penolakan Kuwait untuk meminjamkan uang kepada Irak sebanyak $10 milyar, menghapuskan hutang Irak terhadap Kuwait karena Irak telah membantu Kuwait dalam menyelamatkan negaranya dari ancaman Revolusi Islam Iran, dan produksi minyak di Kuwait yang berlebihan dan dibawah standar harga OPEC. Atas pertimbangan tersebut, lagi-lagi Saddam Hussein tidak bisa dikatakan sebagai agressor yang sembrono dan gegabah.
            Ketiga, Amerika memiliki dugaan bahwa Saddam merupakan tokoh dibalik Osama bin Laden. Pemerintahan AS memiliki kekhawatiran bahwa Saddam Husein akan menjual bahkan memberikan nuklirnya kepada Alqaeda. Mersheimer memberikan penjelasan bahwa dengan dijualnya atau diberikannya nuklir kepada Alqaeda hanya memberikan keuntungan sedikit kepada Irak. Sedangkan kerugian yang didapatkan oleh Irak adalah melemahnya kemanan Irak karena disaat Irak sedang mengalami pertempuran dengan berbagai negara, justru menjadikan Irak powerless. Jika nuklir tersebut telah dipindahtangankan, maka Irak tidak lagi memiliki kemapuan untuk mendikte penggunaan nuklir tersebut.
            Faktor ideologi juga dilupakan dalam perhitungan AS dalam usahanya menemukan keterkaitan antara Irak dengan Alqaeda. Perlu diketahui bahwa Saddam Hussein merupakan orang yang sekuler sedangakan Osama adalah orang yang fundamentalis, sedangkan tujuan daripada Osama adalah untuk membantai mereka yang tidak sepaham dengan ideologinya. Hal tersebut tidak menutup kemungkinan bagi Osama untuk melakukan penyerangan terhadap Irak.
            Berdasarkan analisis yang dijelaskan oleh Mersheimer diatas, ia berani memberikan pernyataan secara gamblang bahwa segala tuduhan Amerika terhadap Irak adalah kesalahan besar, bahkan tuduhan atas tindakan otoriter Hussein yang dikatakan menyengsarakan rakyat, akan tetapi faktanya adalah masyarakat Irak justru menganggap Hussein sebagai wujud presiden yang luar biasa dengan jiwa nasionalismenya.
Tentunya tindakan pemerintah Amerika dalam menginvasi Irak merupakan sebuah kontroversi. Terutama alasan AS untuk menyerang Irak terlebih dahulu, pasalnya jika Irak memang memiliki senjata pemusnah massal, mengapa Irak tidak menggunakannya saat melawan AS ketika Bush membuat kebijakan untuk ikut terlibat dalam Perang Teluk II (Perang Irak-Kuwait). Dalam menanggapi kasus ini, AS cenderung menderita efek domino dimulai dari kurang baiknya AS dimata dunia hingga keengganan suatu negara untuk menjalin kerjasama dengan Amerika.
Critical Review
            Segala tindakan yang telah dilakukan Bush merupakan suatu kebijakan berdasarkan kacamata Liberalisme. Bush yang beranggapan bahwa rezim Hussein membuat keresahan di wilayah Timur Tengah menjadikan AS turut serta dalam dinamika politik regional Timur Tengah. Rupanya segala tindakan yang dilakukan oleh Bush telah mengeluarkan biaya yang sangat mahal, AS telah menghabiskan uang lebih dari $9 miliar dengan total lebih dari 4.487 tentara AS yang tewas[1]. Sangat ironis jika melihat kerugian finansial yang diterima oleh AS hanyalah untuk motif kemanusiaan.
Layaknya para ilmuan realis lainnya, penulis berpendapat bahwa isu kemanusiaan hanyalah motif dibalik dilakukannya invasi militer AS. Pasalnya dengan motif kemanusiaannya, sangatlah ironis AS ingin mengeluarkan dana yang sangat besar. Motif utama AS melakukan invasi berdasarkan kacamata Realisme adalah untuk melindungi kepentingan nasionalnya di Timur Tengah. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Geological Survey AS, Irak memiliki cadangan minyak senilai US$ 13,6 triliun dan cadangan gas alam senilai US$ 1,9 triliun atau hampir 9% total sumber migas dunia terdapat di Irak[2]. Berdasarkan data tersebut, para ilmuan realis berpendapat bahwa motif dibalik invasi militer yang dilakukan adalah untuk melindungi itu semua.
Pada akhirnya penulis memiliki pandangan yang sama dengan Mearsheimer. Bahwa Saddam Hussein walaupun dikombinasikan dengan nuklir sekalipun, masih merupakan tokoh yang dapat dicegah tindakannya dan bukanlah tokoh yang irrasional. Hal tersebut dibuktikan oleh faktor historis Hussein yang seolah memiliki keengganan untuk berurusan langsung dengan AS dalam urusan militer, karena Saddam pun sesungguhnya menyadarai bahwa AS memiliki persenjataan yang lebih kuat ketimbang Irak, sehingga ketika Irak melakukan penyerangan terlebih dahulu terhadap AS, maka sesungguhnya Irak berada dalam kondisi keamanan yang lebih terancam (security dilemma). Dengan kata lain, tindakan AS untuk melakukan invasi terhadap Irak adalah hal yang tidak diperlukan atau menurut Mearsheimer cukup dengan “keeping Saddam Hussein in a box” dan semua tuduhan yang AS keluarkan untuk Hussein merupakan tipuan politik semata.                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar