Reading
Review Pengkajian Stratejik.
·
Mearsheimer, J.
John and Walt, M. Stephen, An Unnecessary War, 2003.
·
Mearsheimer, J.
John and Walt, M. Stephen, Keeping Saddam Hussein in a Box, 2003.
Nama Mahasiswa : Vanny
El Rahman
NIM :
1113113000011 (HI/B, Jumat 09.45-11.45)
Saddam Hussein: Antara Fakta atau Isu Belaka
Wilayah Timur Tengah dengan berbagai potensi sumber daya alamnya
(SDA) serta mayoritas sistem pemerintahan negara yang otoriter, seolah
mengundang dunia untuk menjadikan Timur Tengah sebagai wilayah yang patut
diperhitungkan dan diperbincangkan. Berbicara mengenai sejarah dan perkembangan
Timur Tengah, maka tidak bisa lepas daripada figur Saddam Hussein. Presiden
Irak yang telah berkuasa selama 30 tahun ini berhasil menjadikan negaranya sebagai
trending topic di akhir abad 20 hingga awal abad 21. Saddam Hussein
dengan segala hal yang dilakukannya berhasil menjadi tokoh yang debatable diberbagai
kalangan misalnya, ilmuan, masyarakat internasional, dan George Bush beserta jajarannya
(yang dalam kasus ini adalah pihak pemerintahan Amerika Serikat).
Sisi unik daripada Saddam Hussein adalah dirinya berhasil membuat
berbagai kalangan untuk mendefinisikan dirinya dalam pengertian yang berbeda,
bahkan Amerika Serikat pun (AS) memiliki definisi yang berbeda untuk memahami
seorang Saddam. Bush beserta jajarannya memandang figur Saddam Hussein sebagai
orang yang sembrono, tidak berperi kemanusiaan, tidak rasional dan selalu
mengalami kesalahan tindakan. Amerika juga menyebutkan bahwa Saddam Hussein
jika dikombinasikan dengan nuklir atau weapon of mass destruction (WMD),
maka akan menjadi sosok yang menakutkan dan tidak dapat diprediksi ataupun
dicegah. Atas ungkapan tersebut, Hussein secara tidak langsung merupakan tokoh
yang merubah haluan kebijakan luar negeri AS.
Dasar daripada hubungan antara AS
dan Irak inididasari oleh tiga garis besar yaitu, (1) Dugaan kepemilikan (Irak)
senjata pemusnah massal (WMD); (2) Rezim Saddam Hussein yang harus segera
diakhiri (karena AS memandang Saddam sebagai the evil agrgressor); (3) Kekhawatiran
AS terhadap adanya hubungan antara Saddam Hussein dengan Osama bin Laden
(pemimpin Alqaeda).
Pertama, data yang dimiliki
oleh intelejen AS menunjukkan bahwa Irak dibawah rezim Hussein memiliki senjata
pemusnah massal. Amerika pun menjelaskan bahwa Hussein dengan kepemilikannya
akan WMD, menjadikannya sosok yang tidak dapat dicegah. Kemudian Amerika
berhasil menghasut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan pemeriksaan
terhadap Irak atas dugaan kepemilikan nuklir dan senjata pemusnah masal. Namun
hal yang ditemukan oleh PBB adalah tidak ada satupun daripada ungkapan AS yang dilemparkan
kepada Irak melainkan sebuah kebohongan belaka. Dengan kata lain, Hussein telah
terbukti tidak memiliki senjata pemusnah masal, hal yang lebih tidak logisnya
lagi adalah dalam keadaan Irak yang sedang menerima embargo ekonomi dari
Amerika, apakah Irak memiliki cukup dana untuk pengembangan WMD tersebut? Dan
apakah mungkin jika Irak melakukan pengembangan tersebut, AS dan PBB tidak
berhasil menemukan tanda-tanda tersebut?
Kedua, gelar evil
aggressor yang dimiliki oleh Saddam tidak lepas dari faktor sejarah yang
telah ia alami. Irak dibawah rezim Hussein telah mengalami dua kali perang
yaitu, Perang Irak-Iran (1980-1988) dan Perang Irak-Kuwait (1990-1991). Amerika
menilai keputusan perang yang diambil oleh Hussein tidak lain sebagai bentuk
pemikirannya yang tidak rasional. Namun Mearshmeir dengan berbagai argumennya
telah memberikan bukti bahwa keputusan perang yang diambil oleh Hussein justru
menjadikannya sebagai tokoh yang rasional.
Perang Irak-Iran perlu dikaji lebih
dalam lagi bahwa keputusan Hussein untuk menyerang Iran bukanlah keputusan yang
sembrono. Diantara kebijakan Khomeini -Presiden Iran- yang memicu tindakan
agresi Irak adalah Revolusi Iran (revolusi oleh Khomeini untuk melengserkan Reza
Pahlavi). Kemudian terkait kebijakan luar negeri Iran adalah Revolusi “Islam”
Iran yaitu usaha dari Khomeini untuk menjadikan regional Timur Tengah menjadi
regional Islam berdasarkan perspektif Khomeini. Perang Irak-iran tidak pula
lepas daripada faktor ideologi pemimpin kedua negara, diketahui bahwa Saddam
merupakan seorang Sunni dan Khomeini merupakan seorang Syi’ah. Berbagai negara
Timur Tengah juga merasa terganggu dengan Revolusi Islam Iran, sehingga Irak
mendapat dukungan dari berbagai negara diantaranya, Arab Saudi, Kuwait,
Perancis, dan As. Faktor keamanan juga
memiliki andil besar, Irak melihat ketidakstabilitasan politik domestik Iran
merupakan kesempatan untuk Hussein melakukan penyerangan terlebih dahulu.
Perang selama 8 tahun ini setidaknya telah menghabiskan $150 juta. Atas berbagai
penjelasan diatas, Mearsheimer justru melihat Saddam Hussein sebagai figur yang
opportunistic ketimbang irrasional.
Argumen Mearsheimer diperkuat pula
dengan analisinya mengenai Perang Irak-Kuwait. Irak melakukan penyerangan
terlebih dahulu kepada Kuwait dikarenakan beberapa faktor seperti, penolakan
Kuwait untuk meminjamkan uang kepada Irak sebanyak $10 milyar, menghapuskan
hutang Irak terhadap Kuwait karena Irak telah membantu Kuwait dalam
menyelamatkan negaranya dari ancaman Revolusi Islam Iran, dan produksi minyak
di Kuwait yang berlebihan dan dibawah standar harga OPEC. Atas pertimbangan
tersebut, lagi-lagi Saddam Hussein tidak bisa dikatakan sebagai agressor
yang sembrono dan gegabah.
Ketiga, Amerika memiliki dugaan bahwa Saddam merupakan tokoh dibalik Osama
bin Laden. Pemerintahan AS memiliki kekhawatiran bahwa Saddam Husein akan
menjual bahkan memberikan nuklirnya kepada Alqaeda. Mersheimer memberikan
penjelasan bahwa dengan dijualnya atau diberikannya nuklir kepada Alqaeda hanya
memberikan keuntungan sedikit kepada Irak. Sedangkan kerugian yang didapatkan
oleh Irak adalah melemahnya kemanan Irak karena disaat Irak sedang mengalami
pertempuran dengan berbagai negara, justru menjadikan Irak powerless.
Jika nuklir tersebut telah dipindahtangankan, maka Irak tidak lagi memiliki
kemapuan untuk mendikte penggunaan nuklir tersebut.
Faktor ideologi juga dilupakan dalam
perhitungan AS dalam usahanya menemukan keterkaitan antara Irak dengan Alqaeda.
Perlu diketahui bahwa Saddam Hussein merupakan orang yang sekuler sedangakan
Osama adalah orang yang fundamentalis, sedangkan tujuan daripada Osama adalah
untuk membantai mereka yang tidak sepaham dengan ideologinya. Hal tersebut
tidak menutup kemungkinan bagi Osama untuk melakukan penyerangan terhadap Irak.
Berdasarkan analisis yang dijelaskan
oleh Mersheimer diatas, ia berani memberikan pernyataan secara gamblang bahwa
segala tuduhan Amerika terhadap Irak adalah kesalahan besar, bahkan tuduhan
atas tindakan otoriter Hussein yang dikatakan menyengsarakan rakyat, akan
tetapi faktanya adalah masyarakat Irak justru menganggap Hussein sebagai wujud
presiden yang luar biasa dengan jiwa nasionalismenya.
Tentunya tindakan pemerintah Amerika dalam menginvasi Irak merupakan
sebuah kontroversi. Terutama alasan AS untuk menyerang Irak terlebih dahulu,
pasalnya jika Irak memang memiliki senjata pemusnah massal, mengapa Irak tidak
menggunakannya saat melawan AS ketika Bush membuat kebijakan untuk ikut
terlibat dalam Perang Teluk II (Perang Irak-Kuwait). Dalam menanggapi kasus
ini, AS cenderung menderita efek domino dimulai dari kurang baiknya AS dimata
dunia hingga keengganan suatu negara untuk menjalin kerjasama dengan Amerika.
Critical
Review
Segala tindakan yang telah dilakukan
Bush merupakan suatu kebijakan berdasarkan kacamata Liberalisme. Bush yang
beranggapan bahwa rezim Hussein membuat keresahan di wilayah Timur Tengah
menjadikan AS turut serta dalam dinamika politik regional Timur Tengah. Rupanya
segala tindakan yang dilakukan oleh Bush telah mengeluarkan biaya yang sangat
mahal, AS telah menghabiskan uang lebih dari $9 miliar dengan total lebih dari
4.487 tentara AS yang tewas[1]. Sangat
ironis jika melihat kerugian finansial yang diterima oleh AS hanyalah untuk
motif kemanusiaan.
Layaknya para ilmuan realis lainnya, penulis berpendapat bahwa isu
kemanusiaan hanyalah motif dibalik dilakukannya invasi militer AS. Pasalnya
dengan motif kemanusiaannya, sangatlah ironis AS ingin mengeluarkan dana yang
sangat besar. Motif utama AS melakukan invasi berdasarkan kacamata Realisme
adalah untuk melindungi kepentingan nasionalnya di Timur Tengah. Berdasarkan
data yang dikeluarkan oleh Geological Survey AS, Irak memiliki cadangan minyak
senilai US$ 13,6 triliun dan cadangan gas alam senilai US$ 1,9 triliun atau
hampir 9% total sumber migas dunia terdapat di Irak[2].
Berdasarkan data tersebut, para ilmuan realis berpendapat bahwa motif dibalik
invasi militer yang dilakukan adalah untuk melindungi itu semua.
Pada akhirnya penulis memiliki pandangan yang sama dengan
Mearsheimer. Bahwa Saddam Hussein walaupun dikombinasikan dengan nuklir
sekalipun, masih merupakan tokoh yang dapat dicegah tindakannya dan bukanlah
tokoh yang irrasional. Hal tersebut dibuktikan oleh faktor historis Hussein
yang seolah memiliki keengganan untuk berurusan langsung dengan AS dalam urusan
militer, karena Saddam pun sesungguhnya menyadarai bahwa AS memiliki
persenjataan yang lebih kuat ketimbang Irak, sehingga ketika Irak melakukan
penyerangan terlebih dahulu terhadap AS, maka sesungguhnya Irak berada dalam
kondisi keamanan yang lebih terancam (security dilemma). Dengan kata
lain, tindakan AS untuk melakukan invasi terhadap Irak adalah hal yang tidak
diperlukan atau menurut Mearsheimer cukup dengan “keeping Saddam Hussein in a
box” dan semua tuduhan yang AS keluarkan untuk Hussein merupakan tipuan politik
semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar